Jika kita menoleh ke belakang atau mencari titik akhir dari alam
material, maka kita akan menemukan benda pertama dan terkecil di
dalamnya, yang disebut dengan partikel atom, energi, atau apa pun
namanya. Yang pasti, terdapat sebuah entitas material yang merupakan
asal-muasal alam yang kompleks ini. Ia sangat kecil dan kuat sekali.
Di antara atom, ada yang beruntung menjadi benda dan entitas fisikal
(molekul) serta menyandang ciri-ciri esensial: cair, padat, atau gas. Air, batu, dan udara pun menempati level berikutnya, yang meninggalkan partikel pada level atomiknya.
Ada sekelompok benda yang berevolusi hingga mampu berkembang. Ia
menjadi benda yang berkembang (tetumbuhan), mulai dari akar, bunga,
tangkai, putik, buah, biji, dan daun. Ia bukan sekadar benda tetapi
berkembang, mekar, dan layu. Ia bahkan dapat bernafas: menghirup udara
dan menghembuskannya.
Di antara tetumbuhan, ada sekelompok maujud yang naik ke level
berikutnya dan menyandang sejumlah identitas pelengkap seperti
“berpenginderaan” dan “berperasaan”. Ia bukan hanya benda yang
berkembang dan dinamis tetapi juga memiliki naluri dan emosi. Ia bisa
merasakan benci, cinta, sayang, sedih, dan bahagia. Ia bahkan memiliki
keterikatan untuk melakukan kontak seksual dan bereproduksi.
Di tengah hewan-hewan, ada yang beruntung menyandang identitas
tambahan dan menjadi “berakal”. Ia tidak hanya entitas yang berperasaan
dan melakukan penginderaan, tetapi mempunyai alat untuk membedakan benar
dan salah; baik dan buruk; indah dan kacau. Ia pun mampu menentukan
kesempurnaan dan kepatutan.
Ia adalah maujud unik (satu-satunya) yang menjadi miniatur dari semua
makhluk alam ini. Semua representasi kebendaan ada di dalamnya. Ia
bahkan terdiri dari tiga lapis: ruh, jiwa, dan raga. Ia merdeka dalam
berkehendak bila dibandingkan dengan entitas-entitas pada level di
bawahnya: binatang dan tetumbuhan. Dibanding makhluk-makhluk lainnya, ia
telah menikmati kebebasan berkehendak secara lebih sempurna meskipun
sarananya kadang lemah. Dialah manusia. Allah berfirman, Dan manusia
diciptakan dalam keadaan lemah (QS. an-Nisa:27).
Ironisnya, ada saja manusia yang secara sukarela terjun bebas ke
level terendah sembari melepas semua identitas-identitas
kesempurnaannya. Ia puas dengan identitas ‘atomman’. Ia lebih keras
daripada batu karena mengabaikan hati nurani, memakzulkan logika, serta
mencerabut ciri-ciri kesempurnaannya. Dalam al-Quran, ia disebutkan,
laksana batu, bahkan lebih keras.
Ada pula yang memilih untuk menjadi batu atau pasir seraya
menanggalkan identitas hewani dan insaninya. Ia puas menyandang predikat
‘stoneman’ atau ‘sandman’ yang tidak bisa tegak tanpa perekat. Ia bagai
debu yang berhamburan diterpa badai. Mereka bagaikan batu-batu. Ia
tidak punya indera, tuli, buta, dan mati rasa. Ia hanya mengisi ruang,
statis, dan jumud (padat).
Ada yang memutuskan untuk menjadi penghuni level tetumbuhan. Ia hanya
peduli dengan ‘pertumbuhan’. Ia sangat merisaukan penampilan fisik
serta mengkhawatirkan kelayuan, kerutan di wajah, dan lemak di tubuh. Ia
seringkali menyesali bentuk-bentuk fisiknya: hidung yang terlalu
mancung atau terlalu pesek, sehingga berpikir untuk ‘mempermaknya’. Ia
sangat merisaukan ukuran tubuh atau siluet di perutnya karena bersalin.
Ia bagaikan ‘vegetableman’, ‘woodman’ atau ‘jengkolman’ karena, baginya,
pertumbuhan adalah puncak kesempurnaan. Ada pula yang tumbuh
superagresif sehingga menjadi ‘parasitman’ yang merusak apa pun yang di
sekitarnya.
Ada pula yang memilih bertahan di ‘kebun binatang’ dan puas dengan
menjadi ‘spiderman’, ‘batman’, ‘elephantman’, atau lainnya karena,
baginya, yang terpenting adalah birahi, kepuasan, keliaran, dan
kebebasan. Sebagian dari mereka mengalami mutasi menjadi lalat yang
berpesta dalam tong sampah, mendistribusikan fitnah, menebar dusta, dan
bahkan merawat kebencian. Sebagian lagi menjadi an’âm (hewan rumahan)
yang tidak memiliki kemandirian sikap dan pendapat. Ada pula yang
menjadi liar dan buas bagai aligator atau piranha. Ia tidak merisaukan
soal benar dan salah, patut dan tidak patut, apalagi legal dan ilegal.
Baginya, yang terpenting adalah kepuasan yang memanjakan perut dan
kelamin, dan al-Quran menyebutnya sebagai “lebih keras (buas).”
Manusia sejati adalah ia yang tidak hanya puas sebagai makhluk
berakal, tetapi bergerak ke atas menjadi pengiman Tuhan, agama, dan hari
kebangkitan. Karena keyakinan inilah, Ali bin Abi Thalib berani
memanaskan sepotong besi lalu mendekatkannya ke tubuh saudaranya, Aqil
bin Abi Thalib setelah Aqil memohon untuk diberi dana “non-budgeter”
dari baitulmal. Saat Aqil merintih kesakitan, Ali berkata, “Wahai Aqil,
saudaraku! Apakah kau menangis karena besi ini, padahal ia dibuat oleh
manusia? Lalu, mengapakah engkau suruh aku melakukan sesuatu yang akan
membuatmu terbakar oleh besi panas yang disiapkan Allah di akhirat?”
Rupanya di era mikrochip ini, manusia sejati (tanpa embel-embel
‘kebinatangan’) sudah dianggap ‘kurang manusiawi’. Karena itulah, kini
yang mulai dipandang sebagai idola dan tumpuan harapan (sekaligus jurus
meraih keuntungan) adalah para kelelawar, laba-laba, pinguin, dan
mungkin masih banyak lagi. Jadi, welcome to the jungle.
Sumber : Muhsin Labib for Wisdom of Success
Tidak ada komentar:
Posting Komentar